Kepingan Lima Puluh Sen Perak

Maestro Simanjuntak
5 min readJan 24, 2022

--

Yasunari Kawabata

Sudah menjadi kebiasaan bahwa uang saku dua yen yang dia terima pada setiap awal bulan dimasukkan ke dalam dompet Yoshiko oleh tangan ibunya sendiri dalam sejumlah empat kepingan lima puluh sen perak. Jumlah peredaran koin-koin tersebut telah berkurang pada masa itu. Mereka kelihatan ringan namun terasa berat, dan bagi Yoshiko mereka seolah memenuhi dompet kulit bertali merahnya dengan sebuah kebanggaan yang solid. Berhati-hati untuk tidak menghabiskan uang sakunya, seringkali Yoshiko menyimpan koin-koin dalam dompetnya di dalam tas tangan hingga akhir bulan. Dia tidak sungguh-sungguh menolak hiburan-hiburan khas wanita seperti pergi ke bioskop atau kedai kopi bersama rekan kerjanya, namun dia hanya menganggap pengalihan tersebut sebagai hal-hal di luar kehidupannya. Tidak pernah merasakannya, dia tidak pernah tergoda oleh mereka. Sekali seminggu dalam perjalanan pulang dari kantor dia akan singgah di sebuah toko serba ada dan menghabiskan sepuluh sen pada sepotong roti Prancis asin yang sangat dia sukai. Selain itu tidak ada apa pun yang dia inginkan khusus untuk dirinya. Meski begitu, pada suatu hari, di toko alat tulis milik Mitsukoshi, pemberat kertas kaca menarik perhatiannya. Heksagonal, benda itu memiliki ukiran seekor anjing pada permukaannya. Terpesona akan ukiran itu, Yoshiko menggenggam benda itu. Kesejukannya yang menyenangkan, kualitas beratnya yang tidak terduga memberinya kebahagiaan mendadak. Dia menyukai hasil karya yang dikerjakan dengan amat baik ini dan mendapati dirinya terpikat. Dia menimang-niman benda itu dalam genggamannya, menatapinya dari semua sudut, lalu kemudian, dengan enggan, mengembalikan ke kotaknya. Harganya empat puluh sen. Dia kembali lagi besok harinya dan memeriksa pemberat kertas tersebut dengan cara yang sama. Dia datang dan melihat lagi esok harinya. Setelah sepuluh hari, dia akhirnya memutuskan. “Aku akan membeli ini.” Dia berkata pada penjaga toko, jantungnya berdetak cepat. Ketika dia sampai di rumah, ibu dan kakaknya menertawakan dirinya.

“Bagaimana bisa kau mengeluarkan uangmu untuk mainan semacam itu?”

Namun ketika masing-masing dari mereka menggenggam benda tersebut dan menatapinya, mereka berkata, “Kamu benar, lumayan cantik. Dan dibuat dengan baik.” Mereka mengangkatnya ke arah cahaya. Permukaan kaca bening yang dipoles berpadu dengan amat baik dengan ukiran kaca beku buram, dan terdapat keindahan yang pas dalam segi-segi heksagonal. Bagi Yoshiko, benda itu merupakan karya seni yang menawan. Setelah menghabiskan tujuh hari, delapan dan lebih untuk mempertimbangkan pemberat kertas tersebut sebagai objek yang layak dijadikan kepunyaannya, Yoshiko tidak mempedulikan pendapat orang lain tentang benda itu, namun tetap saja dia merasakan kebanggaan dalam menerima pengakuan akan selera yang bagus dari ibu dan kakaknya. Meski pun dia ditertawakan karena kehati-hatiannya yang berlebihan-menghabiskan sepuluh hari untuk membeli sesuatu yang hanya berharga empat puluh sen. Dia tidak akan menyesal karena telah membeli sesuatu secara mendadak. Yoshiko yang berusia tujuh belas tahun tidak memiliki pembedaan yang begitu teliti sehingga dia menghabiskan begitu banyak hari menyaksikan dan memikirkan sebelum sampai pada keputusannya. Dia hanya sekedar khawatir akan menghabiskan kepingan lima puluh sen perak dengan sembrono yang kepentingannya telah mengendap dalam pikirannya. Ketika cerita mengenai pemberat kertas muncul tiga tahun kemudian dan semua orang tergelak, ibunya berkata dengan sungguh-sungguh, “Aku merasa kau sangat memikat waktu itu.”Anekdot menghibur semacam ini erat dengan setiap kepunyaan Yoshiko.

2

Mereka mulai dengan naik elevator ke lantai lima toko Mitsukoshi karena lebih mudah berbelanja dari lantai atas ke lantai bawah. Yoshiko setuju untuk mendampingi ibunya pada perjalanan belanja hari minggu untuk pergantian suasana. Hari berbelanja sudah seharusnya berakhir ketika mereka sampai di lantai dasar, namun ibunya melanjutkan turun ke area tawar-menawar seolah-olah hal itu hal yang biasa baginya. “Terlalu ramai, ibu. Aku benci tempat itu.”Yoshiko menggerutu, namun ibunya telah lebih dulu tenggelam dalam atmosfir kompetitif area itu, dan tidak mendengarnya. Area tawar-menawar adalah tempat yang disediakan dengan satu tujuan agar orang-orang menghabiskan uangnya, tetapi barangkali ibunya akan menemukan sesuatu. Yoshiko mengikutinya dari kejauhan untuk mengawasinya. Area itu mempunyai pendingin udara jadi tidak terlalu pengap. Pertama-tama ibunya membeli tiga pak alat tulis seharga dua puluh lima sen, lalu berbalik untuk melihat Yoshiko. Mereka saling senyum. Akhir-akhir ini ibunya sering menggunakan alat tulis Yoshiko, yang menyebabkan dia jengkel. Sekarang kita bisa tenang, ekspresi mereka seolah berkata. Tertarik menuju kios peralatan dapur dan pakaian dalam, ibunya tidak terlalu berani menerobos keramaian yang berkumpul. Dia berjinjit, mengintip melaui bahu orang-orang, atau menggait melalui lengan-lengan baju, tetapi tidak membeli apa pun, sebaliknya berjalan menuju pintu keluar, melangkah dengan enggan seolah tidak sepenuhnya yakin untuk menyerah.

“Oh, harganya hanya sembilan puluh lima sen?”ibunya mengambil salah satu payung yang dijual di dekat pintu keluar. Terkejut dengan setiap payung yang dia pegang mempunyai tanda harga yang sama, dengan kekuatan yang mendadak kembali dia berkata, “Mereka sangat murah kan, Yoshiko?” seolah keengganannya untuk pergi telah menemukan jalan keluar.

“Jadi, tidakkah kau pikir mereka murah?”

“Memang murah.” Yoshiko juga mengambil satu. Ibunya mengambil dan membukanya bersama miliknya.

“Rusuknya saja sudah murah,’ibunya berkata. “Kainnya-yah, kain rayon, tetapi dibuat dengan baik, iya kan?”

Bagaimana mungkin menjual barang sebagus ini dengan harga sekian? Begitu pikiran tersebut melintas di benak Yoshiko, kejengkelan aneh karena membeli barang cacat mengendap dalam pikirannya. Ibunya menggeledah tumpukan payung, membuka satu dengan yang lain dalam pencarian suram untuk yang sesuai dengan usianya. Yoshiko menunggu selama beberapa menit sebelum berkata, “Ibu, bukankah kau punya satu untuk digunakan di rumah?”

“Ya, aku punya, tapi yang itu..” Dia melirik Yoshiko. “Sudah sepuluh, tidak, lebih. Sudah lima belas tahun aku memilikinya. Sudah usang dan ketinggalan jaman. Atau kalau aku menghadiahkan ini buat orang lain, coba pikir alangkah senangnya mereka.”

“Betul. Tidak apa-apa kalau kau mau membelinya sebagai hadiah.”

“Siapa saja pasti akan senang diberi ini, aku yakin.”

Yoshiko tersenyum, tetapi dia bertanya-tanya jika ibunya benar-benar memilih payung untuk seseorang dalam benaknya. Sudah pasti, tidak mungkin orang yang dekat dengan mereka. Bila begitu, ibunya tidak akan berkata siapa saja.

“Bagaimana dengan yang ini, Yoshiko?”

“Hmm, aku penasaran.”

Yoshiko tidak bisa menunjukkan keantusiasan, namun dia mendekat untuk bergabung dalam pencarian, berharap untuk menemukan payung yang sesuai untuk ibunya. Pembeli yang lain, mengenakan gaun kain rayon tipis, bergegas, dengan cepat merenggut payung-payung selagi mereka berkomentar mengenai murahnya barang.

Yoshiko merasa bersalah­ — marah pada dirinya — karena merasa ragu untuk membantu ibunya yang tergesa dan tampak tegang. Yoshiko berbalik menatap ibunya, bersiap mengatakan, “Kenapa tidak beli satu, yang mana saja, secepatnya?”

“Mari kita hentikan ini, Yoshiko.”

“Apa?”

Ibunya tersenyum lemah, menaruh tangannya pada pundak Yoshiko seolah ingin membersihkan sesuatu dan melangkah menjauh dari kios. Sekarang giliran Yoshiko menginginkan lebih, tetapi membutuhkan lima atau enam langkah untuk membuatnya lega. Menggenggam tangan ibunya pada pundaknya, dia mengepal dan mengayunkannya, mereka berdua bahu-membahu selagi mereka bergegas menuju pintu keluar.

Kejadian ini berlangsung tujuh tahun sebelumya, pada 1939.

3

Ketika hujan menghantam atap pondok lembarang logamnya yang gosong, Yoshiko mendapati dirinya berharap mereka membeli sebuah payung pada masa itu, dan bahwa dia bisa bergurau dengan ibunya mengenai payung semacam itu seharga satu atau dua ratus yen di masa sekarang, tetapi ibunya telah wafat di pengeboman Kanda mereka, Tokyo, kawasan bertetangga.

Secara kebetulan, pemberat kertas tersebut selamat. Ketika rumah iparnya terbakar hangus di Yokohama, benda tersebut termasuk salah satu yang dengan panik dia jejalkan ke dalam tas tangan darurat, dan sekarang satu-satunya suvenir kehidupan miliknya di rumah masa kecilnya. Mulai dari sore hari, di dalam gang, dia bisa mendengar ratapan aneh gadis-gadis. Rumor mengatakan bahwa mereka mampu mendapatkan seribu yen dalam satu malam. Sesekali dia akan mendapati dirinya menggenggam pemberat kertas seharga empat puluh sen yang telah dia beli setelah sepuluh hari pertimbangan ketika dia seusia gadis-gadis tersebut, dan selagi dia mengamati ukiran anjing yang imut, dia akan menyadari dengan keterkejutan bahwa tidak tersisa seekor anjing pun di lingkungan bertetangga yang hangus terbakar.

Diterjemahkan Oleh Maestro Simanjuntak

--

--

No responses yet